Masril Koto: Pendiri Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis
(LKMA) Prima Tani dan Konsultan Perusahaan Belanda yang Tidak Lulus SD
Masril Koto adalah pendobrak kebekuan fungsi intermediasi industri perbankan di bidang
pertanian. Bersama para rekannya, petani yang tak tamat sekolah dasar itu
mendirikan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) Prima Tani di Nagari Koto
Tinggi, Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 2007.
LKMA Prima Tani di Nagari Koto
Tinggi itu menjadi cikal bakal program pengembangan usaha agribisnis pedesaan
(PUAP) nasional. Kini, lebih dari 300 unit LKMA telah berdiri di seantero
Sumbar atas dorongannya.
Setiap hari, Masril berkeliling ke
beberapa wilayah Sumbar dengan sepeda motor keluaran tahun 1997, yang
disebutnya suka ”agak berulah sedikit” hingga kadang masuk-keluar bengkel.
Akibat sering berkeliling, Masril
relatif sulit ”ditangkap”. Selama singgah dari satu tempat ke tempat lain
itu, atas undangan kelompok tani, Masril selalu memotivasi agar LKMA didirikan
sebagai solusi permodalan petani. Maka, dalam ranselnya tersimpan aneka
perlengkapan penunjang aktivitas, seperti spidol, beragam contoh dokumen
pendukung pendirian dan operasional LKMA, serta laptop.
”Laptop ini hadiah dari (ekonom)
Faisal Basri, waktu kami undang ke Agam melihat LKMA,” kata Masril, yang mengaku bermodal keberanian untuk
berhubungan dengan banyak orang. Segudang pengalaman dan orang dia temui dalam
perjalanan yang menghabiskan biaya Rp 500.000 per bulan itu.
Perjalanan
tersebut juga membuat dia jarang berkumpul dengan keluarga. Dalam sebulan hanya
dua hari ia bersama istri dan anaknya di Nagari Tabek Panjang, Baso, Agam.
Selebihnya, mereka berkomunikasi lewat telepon.
Proses panjang perjuangan Masril
mendirikan LKMA diawali pada 2003. Sebagai petani, ia menanam padi serta
membudidayakan jagung dan ubi jalar. Waktu itu ia ingin beralih menjadi
petambak lele. Sampai suatu hari, ia bertemu seniman-petani Rumzi Sutan yang
mendendangkannya lagu tentang cita-cita kemandirian petani.
Sejak itulah Masril bertekad
memajukan petani. Ia lalu mengikuti sekolah lapangan (SL) petani dari Dinas
Pertanian Sumbar di Nagari Tabek Panjang, Baso, Agam. Di sekolah lapangan itu,
ia tersadar bahwa persoalan utama petani adalah permodalan. Hal ini tak bisa
dipecahkan industri perbankan. Maka, tercetus ide untuk membuat bank petani,
demi memenuhi kebutuhan mereka.
Di benak para petani pun relatif
alergi terhadap pendirian koperasi. Jadilah ide Masril tak bersambut. ”Berdasarkan
rapat evaluasi dan pengalaman kami selama ini, koperasi hanya menguntungkan
para ketuanya,” ujar anak pertama dari delapan bersaudara ini.
Seusai mengikuti sekolah lapangan,
ia mengumpulkan sejumlah rekan dan membentuk tim beranggotakan lima orang. Tugasnya,
mencari tahu seluk-beluk pendirian bank petani. Tim itu dibekali dana pencarian
informasi Rp 600.000. Mereka menemui para mantan pegawai bank, dinas terkait,
dan mendatangi bank-bank umum.
”Saya ke (Kota) Bukittinggi
mendatangi bank yang ada. Saya bilang ingin membuat bank, bisakah diberi
pelatihan,” cerita Masril, yang dijawab para
bankir itu, ”tak mungkin”.
Tahun 2006 mereka ke Padang guna
mengikuti diskusi dari Yayasan Alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas
(AFTA). Saat itu sisa dana pencarian informasi Rp 150.000, masih dipotong uang
bukti pelanggaran (tilang) lalu lintas Rp 40.000 gara-gara salah membaca rambu
lalu lintas.
Dalam diskusi yang dihadiri pejabat
Bank Indonesia itu, Masril diberi tahu bahwa dana perbankan cukup banyak. Dana
itu bisa dimanfaatkan untuk modal kelompok tani.
”Saya bilang, kami ingin modal itu
untuk membuat bank. Saya tanya caranya,”
kata Masril, yang diyakinkan bisa mendirikan LKMA. Sejak itu dia rajin membaca
buah pikiran Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Prof Mubyarto.
Modal mendirikan LKMA diperoleh
lewat penjualan saham Rp 100.000 per lembar kepada ratusan petani. Setelah
modal diperoleh, muncul masalah pembukuan. Mereka lalu mengikuti pelatihan
konsultan dari Yogyakarta.
”Waktu itu ada LKMA di Kabupaten
Pasaman yang sudah berdiri. Sewaktu kami mau belajar, ternyata harus membayar.
Jadilah kami belajar langsung dari ahlinya,”
kata Masril yang tak memungut uang jasa setiap kali berbagi pengalaman tentang
LKMA.
Beragam produk tabungan atau
pinjaman berbasis kebutuhan langsung petani secara spesifik ditelurkan LKMA,
seperti tabungan ibu hamil, tabungan pajak motor untuk pengojek, dan tabungan
pendidikan anak.
Tahun 2007, Menteri Pertanian Anton
Apriyantono meresmikan LKMA Prima Tani. Ia tercenung mendengar cerita Masril. ”Kalau
Pak Menteri bikin seperti yang saya lakukan, tentu hasilnya lebih cepat bagi
petani,” ceritanya tentang pertemuan itu. Setelah itu, pemerintah
meluncurkan program PUAP.
Perjuangan Masril bukan tanpa
hambatan. Berbagai cibiran pun datang, juga dari keluarga. ”Kepada istri
saya katakan, jika kita ikhlas mengerjakan sesuatu, Insya Allah ada
balasannya,” kata Masril.
Hal itu terbukti. Tahun 2008 ia
dikontrak perusahaan Jepang dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan. Kini, ia menjadi
konsultan perusahaan Belanda bergaji Rp 3,5 juta sebulan.
Masril bertahan memajukan petani
sebab ia tak ingin mereka terus-menerus dieksploitasi, terutama saat menjelang
pemilihan umum. Kini, ia menyiapkan pembentukan lembaga bernama Lumbung Pangan
Rakyat. Targetnya, mengganti peran Bulog yang tak bertugas menurut fungsi yang
diamanatkan.
”Lumbung Pangan Rakyat sudah saya
uji coba, tetapi masih memerlukan penyempurnaan. Tunggu saja, petani sudah
punya kelompok tani sebagai ’perusahaan’, LKMA sebagai ’bank’, dan Lumbung
Pangan Rakyat sebagai ’Bulog’-nya,”
kata Masril bersemangat.
Sumber: Kompas, 29 Juni 2010.